Di Bawah Pohon Rindang Itu

Di Bawah Pohon Ridang Itu

Setiap hari demi hari aku tidak pernah absen untuk berjumpah dengan pohon rindang itu. Aku selalu bersandar di pohon itu dan melihat desa tempat tinggalku.

“Ya itu indah sekali” kata di dalam hatiku yang tidak pernah bosan melihat pemandangan di desa ku itu.

Aku selalu membawa sebuah buku dan pensil. Kemudian aku duduk di bawah pohon rindang itu, lalu menggambar apa yang terlintas di pikiranku. Aku menganggap gambarku jelek tapi hal seperti itulah kesenangan ku di dunia ini. Namaku adalah Rizal, anak dari desaku. Aku tinggal bersama orangtuaku di gubuk kecil pinggiran desa. Ayahku bekerja sebagai pemulung dan ibuku membantu pekerjaan rumah dan pekerjaan ayahku.

Kami hidup miskin di pinggiran desa, semua orang didesa selalu mengolok-olok kami karena kemiskinan kami. Dan aku selalu melempari mereka dengan batu untuk pembalasan dari olokan mereka itu. Aku juga anak yang cukup nakal di desa itu. Setiap hari ayahku selalu menasehatiku agar menjadi orang yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Disitulah aku berpikir bagaimana aku bermanfaat bagi orang lain sedangkan orang lain aja selalu merugikan kami. Agak lucu bagiku, tapi itulah hidup yang sedang kujalani.

Setiap sore aku selalu menggambar di bawah pohon rindang itu. Aku selalu menggoreskan pensil ku dengan selembar kertas di buku ku dan mulai menggambar ketika aku berada di pohon tersebut. Suatu hari ketika aku pulang dari pohon rindang itu, aku melupakan gambarku yang tertinggal di pohon rindang itu. Karena waktu sudah malam, malas sekali untuk mengambilnya di sana.

”Lagi pula siapa yang mau mengambil buku rusak itu” pikirku.

Keesokan harinya harinya aku pergi ke pohon rindang itu dan ingin mengambil buku gambar ku itu. Sesampai itu pohon rindang itu betapa terkejutnya diriku melihat kalung bermata seperti berlian yang bercahaya dan menyilaukan mata. Dan bukan hanya itu saja buku yang paling berharaga dari berlian itu menurutku pun hilang tidak ada. Aku mencari di sekitar pohon itu buku gambar ku itu. Dengan wajah yang menyesal karena sudah menyepelekan bukuku itu. Aku hampir memukul pohon itu dan menyalahkannya karena buku itu adalah hasil dari kekesalan ku setiap hari. Dimana waktu diriku merasa kesal, aku selalu menenangkan diri dengan menggambar di bawah pohon rindang itu.

Aku pun meminta maaf pada pohon itu karena aku juga yang salah. Pohon itu hanyalah benda mati. Yang terpenting mengapa kalung berlian yang super mahal ini berada disini.

Aku mengambilnya dan berpikir sedikit “jika itu berlian itu dijual berapa harganya ya”.

Kecemasanku tentang buku itu seketika hilang karena kesadaranku akan berlian tersebut. Dengan sigap aku berdiri kemudian berlari menjumpai orangtua ku tentang masalah berlian itu. Sampai di rumah aku langsung memberitahu orangtua ku tentang berlian itu.

Sontak orangtuaku pun terkejut dan menanyaiku tentang berlian itu ”Nakkk dimana kau dapatkan berlian itu”.

Aku pun menjawabnya di bawah pohon rindang yang sering kujumpai itu. Lalu orangtuaku memberi tahu ku bahwa berlian itu harus dikembalikan ke pemiliknya. Aku pun bertanya-tanya kenapa harus dikembalikan. Bukankah kalung berlian itu kita jual sudah banyak menguntungkan kita. Orangtua ku kembali menasehatiku bahwa hal itu sama aja dengan pencuri lalu apa bedanya kita dengan pencuri. Aku juga merasa kecewa namun tersadar dengan nasehat orangtuaku karena aku sangat benci pencuri. Barang rumah kami selalu ada yang hilang karena diculik. Disitulah aku membenci jiwa-jiwa seorang pencuri. Aku pun bertanya kepada orangtuaku bagaimana kita menemukan pemilik berlian itu. Aku tidak tahu jejak-jejak pemilik berlian itu.

Berselang hari kami melakukan penyelidikan siapa mencuri berlian itu. Kami bertanya tanya kepada semua orang di desa. Tentu saja kami tidak menunjukkan langsung berlian itu, karena kami takut dianggap yang bukan-bukan. Suatu saat ada sebuah mobil yang mewah datang kedesa ku. Aku melihatnya kagum dan takjub melihat mobil itu seakan-akan itu baru pertama kalinya kami lihat. Kemudian turunlah seorang putri yang cantik jelita dari mobil itu. Dengan dikawal oleh bodyguardnya dan putri itu bersama orangtuanya.

Kemudian putri itu mengeluarkan suaranya seakan-akan memberi pengumuman keras ”Siapa yang mempunyai buku ini”.

Aku pun terkejut ternyata itu adalah bukuku yang berada di genggaman itu.

“Bagi siapa yang mempunyai buku ini kami menghadiahkannya dengan nilai hadiah yang sangat besar”. Itulah pernyataan tuan putri tersebut seakan-akan mereka ingin membeli gambarku dan jasaku, tapi mengapa?

Tuan putri itu pun menjelaskan kepada kami masyarakat desa bahwa gambar itu sangat bagus dan menyentuh hatinya. Pertama kali dia lihat buku itu ada di bukit dibawah pohon.

“Ternyata itu buku” dengan perasaan pasti bahwa itu bukuku.

Tapi semua orang menunjuk tangannya dengan masing-masing dengan menganggap buku itu kepunyaan mereka. “wahhh gawat bagaimana ini” pikirku. Aku pun mempunyai keyakinan penuh bahwa kalung berlian ini adalah miliknya juga. Kemudian orang kaya itu membuat sayembara menggambar untuk menemukan siapa pemilik buku itu. Tentu saja antusias warga desa sangat besar untuk mengikuti perlombaan itu. Tetapi aku tak ikut karena pasti ada warga desa yang tidak setuju dengan kami. Aku pun pulang begitu saja tanpa menghasilkan apa-apa. Sesampai di rumah orangtuaku memberitahuku tentang sayembara itu

“aku tidak ikut ayah, ibu aku takut warga desa nanti semakin membenci kita” itulah pernyataanku di depan orangtuaku. Orangtuaku pun memintaku untuk mengikutinya sekaligus memberikan kalung tersebut. Tetap aja aku tidak mau dan nanti aja selesai sayembara kita memberikannya.

“nanti pun pasti ketemu yang sama gambarnya macam aku dan bahkan lebih bagus lagi” pikirku di benakku.

Berselang beberapa hari di hari selesai sayembara tetap belum ditemukan siapa yang berhak menjadi pemilik buku itu. Akupun terkejut mendengarnya mengapa warga desa ini belum ada menjadi pemilik buku itu tetapi aku tidak mempedulika itu. Suatu hari tiba-tiba anak orang kaya itu diculik oleh orang jahat. Dia adalah seorang putri yang mengadakan sayembara tersebut. Tentu saja orang kaya tersebut meminta bantuan polisi setempat dan penyelidik untuk meminta bantuan. Anak orang kaya tersebut diculik pada malam hari dan meninggalkan suatu kertas yang berisi untuk meminta tebusan di hari yang ditentukan. Tentu saja kepanikan orangtuanya dan kami warga desa pun sangatlah besar. Penyelidik dan polisi tentu saja melakukan rencana untuk bisa memulangkan putri mereka itu dan diriku tetap saja tidak mampu ikut campur dalam hal tersebut. Tetapi aku berpikir sejenak jika putri itu ditangkap bagaimana aku memulangkan kalung tersebut. Kepada orangtuanya? Apakah hal ini bisa berjalan? Aku selalu memikirkannya .

Pada malam hari tebusan finalnya, para polisi dan penyelidik melakukan rencananya untuk membebaskan seorang putri dari tangan penjahat tersebut. Orangtuaku memang mesehatiku untuk tidak mencampur urusan polisi itu tapi tanpa sadar aku mengikuti para polisi dan penyelidik itu untuk membantu meloloskan putri anak orang kaya itu. Ketika markas mereka dikepung mereka memberi ancaman untuk kepada pihak polisi itu. Tentu saja polisi itu tetap tenang dan tidak ceroboh. Tapi aku masuk kedalam markas mereka dengan jendela. Ntah kemana rasa takut tapi sedikit ras terpaksa di dalam diriku melakukannya. Pada hari itu memang hujan dan membasahi seluruh tubuhku. Di jendela itu aku melihat putri disandra oleh para penjahat. Tentu saja aku melihatnya dengan bulu kudung yang merinding tetapi ketika para polisi melancarkan serangan di didepan markas mereka. Para penjahat itu pun berlarian ke depan dengan meninggalkan seorang penjahat. Aku pun melihatnya untuk memikirkan ide cara menumbangkan para penjahat ini. Ya tentu saja kubuat aja suara berisik di kamar sebelah nya. Aku pergi ke kamar sebelah dan menjatuhkan meja di kamar itu sehingga menimbulkan suara yang berisik. Seorang penjahat yang menjaga putri itu pun menghampiri kamar sebela dan aku besembunyi di balik pintunya. Ketika penjahat itu masuk aku langsung kabur dari rungan itu dan menguncina dengan kayu. Dengan cepat kuhampiri putri itu ddan kulepaskan dia.

“Tenang aja aku disini menolongmu dan ikuti aja aku” kata tersebut kuutarakan kepada putri tersebut dan putri tersebut hanya bisa mengangguk ketakutan. Tiba-tiba karmar sebelah dirusak oleh penjahat yang kukunci tadi supaya bisa kabur. Akupun menarik tangan putri itu untuk besembunyi di suatu tempat. Pada hari itu hujan lebat petir sangatlah kuat dan aku bingung harus gimana.

Lalu putri itu mengatakan sesuaru “kalua saja semua penjahat itu penakut” itulah kata dilontarkan putri itu dan mendorongku untuk melakukan suatu ide untuk menjauhi kami dari penjahat itu. Jalan keluar satu-satunya adalah melaui jendela yang kumasuki tapi penjahat it uterus mecari kami dan kami pun harus menyingkirkannya dengan cara halus. Di suatu kamar kami bersembunyi disitu. Di mara itu aku menemukan sebuat cat rumah dan kuatnya, minnyak, dan air. Aku mengambil kuas itu lalu menggamar di dinding. Aku mencocok kan letak gambar ku di dinding dengan cahay dari sambaran petir. Aku mulai menggambar di dinding untuk menggambar wajah seram. Tentu saja karena setiap hari aku mengambar di bwah pohon rindang. Menggambar hal tersebuti dinding tidak hal yang sulit. Penjahat itu pun menjumpai kamar kami dimana kami sembunyi. Dengan suara petir yang keras dan memunculkan cahaya agar gambarku yang sangat ,menyeramkan itu terlihat oleh penjahat itu. Tentu saja penjahat itu lari terbirit-birit itulah kesempatan kami untuk lari dan keluar dari markasnya.

“Yes kita berhasil” kami dengan senang berhasil mensukseskan rencana itu. Aku pun meyerahkan putri itu ke polisi sebagai tanda bahwa putri itu berhasil kuselamatkan. Para polisi itu pun melancarkan serangannya dan berhasil menangkap para penjahat itu. Ya kami berhasil menang lawan penjahat yang menculik putri tersebut. Kami pun diaman kan tetapi aku memaksa untuk pulang agar mereka tidak memberitahukannya dengan orangtuaku agar orangtuaku tidak khawatir. Aku sangat memohon sekali kepada para polisi itu dan polisi itu pun mengizinkanku pulang serta menuliskan data diriku kepada polisi itu. Aku pun pergi begitu saja tanpa menjumpai putri itu. Aku pun pulang dan mengendap ngendap ke kamar ku untuk tidak membangunkan orangtuaku.

Setelah kejadian itu, kabar dari orang kaya itu pun tidak ada dan aku tidak sempat memberika kalung itu. Aku lupa memberikannya kepada putri yang kuselamatkan tadi

“Ah cukup sial jugaya” pikirku dalam benakku sambal pergi ke pohon rindang langganan ku itu. Sesampai ke pohon itu aku melihat gadis cantic rupawan. Ternyata dia adalah putri anak orang kaya itu. Aku melihatnya dan tersadar bahwa dia begitu cantik dan manis juga. Aku menghampirinya dibawah pohon rindang itu dan memberiku buku ku

“Ini bukumu, aku tahu ketika mengambar hantu itu di dinding hehehe. Dan aku sangat berterima kasih telah menyelamatkanku” kata anak gadis itu sambil tersenyum dan akupun sangat senaang mendengarnya. Lalu gadis itu menjelaskannya bahwa orangtuanya akan datang ke rumah ku untuk menawarkan banyak bantuan dan mereka ingin ingin tinggal bersama mereka. Mendengar itu tentu saja aku sangat bersyukur sekali dan berterimakasih kepada putri itu. Tak lupa juga aku memberikan kalung berlian itu. Dan benar bahwa kalung itu miliknya dan bersyukur telah mendapatnya dan terus berterima kasih kepadaku.

“Terima kasih Rizal” ucapnya dengan senyum yang manis dan membuatku jantung berdebar. Dan semua itu berakhir di Bawah Pohon Rindang Itu….

END………..

Related Posts :

  • Di Bawah Pohon Rindang ItuSetiap hari demi hari aku tidak pernah absen untuk berjumpah dengan pohon rindang itu. Aku selalu bersandar di pohon itu dan melihat desa te… Read More...
  • Si SolehDi sebuah desa ada seorang anak yang bernama Soleh, anak seorang kaya raya di desanya. Orangtuanya mempunyai ladang peternakan yang luas di … Read More...

1 Response to "Di Bawah Pohon Rindang Itu"